Nabire, Kapiwuunews.Org - Tambang rakyat kerap dipandang sebagai jalan keluar dari kemiskinan bagi masyarakat adat Papua. Di tengah keterbatasan akses pendidikan, lapangan kerja, dan pembangunan yang belum merata, aktivitas tambang rakyat dianggap memberi harapan ekonomi secara cepat. Namun, di balik harapan tersebut, muncul pertanyaan besar: apakah tambang rakyat benar-benar menjadi berkat, atau justru petaka yang perlahan merusak kehidupan orang Papua.
Bagi sebagian masyarakat, tambang rakyat adalah ruang bertahan hidup. Aktivitas ini sering dijalankan secara turun-temurun di atas tanah adat, tanpa teknologi besar, tanpa modal besar, dan dengan risiko yang ditanggung sendiri. Hasilnya memang tidak selalu besar, tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan harian. Dalam konteks ini, tambang rakyat dapat dipahami sebagai bentuk ekonomi subsisten masyarakat adat.
Namun persoalan mulai muncul ketika tambang rakyat tidak lagi murni dikelola oleh masyarakat adat. Kehadiran pihak luar dengan modal, alat berat, dan kepentingan ekonomi besar sering menggeser posisi orang asli Papua menjadi buruh di tanahnya sendiri. Tambang rakyat kemudian berubah wajah menjadi tambang liar yang tidak terkendali, tanpa aturan jelas, dan minim perlindungan hukum bagi masyarakat adat.
Dampak lingkungan menjadi ancaman serius. Kerusakan hutan, pencemaran sungai, dan rusaknya tanah ulayat telah mengganggu sumber kehidupan masyarakat, seperti air bersih, kebun, dan tempat berburu. Jika alam rusak, maka masa depan generasi Papua ikut terancam. Dalam budaya orang Papua, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi ibu yang memberi kehidupan.
Selain itu, konflik sosial sering tak terhindarkan. Sengketa antar-kelompok, kriminalitas, hingga kekerasan kerap muncul di sekitar wilayah tambang rakyat. Lemahnya pengawasan negara dan tidak hadirnya regulasi yang berpihak pada masyarakat adat membuat situasi semakin kompleks dan rawan dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu.
Negara seharusnya hadir bukan untuk mematikan tambang rakyat, tetapi menata dan melindunginya. Pengakuan atas hak ulayat, regulasi yang jelas, pendampingan lingkungan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat adat harus menjadi prioritas. Tanpa itu, tambang rakyat akan terus berada di wilayah abu-abu antara legal dan ilegal, antara berkat dan petaka.
Tambang rakyat seharusnya menjadi berkat jika dikelola oleh masyarakat adat secara berdaulat, ramah lingkungan, dan dilindungi hukum. Sebaliknya, ia menjadi petaka ketika tanah adat dirampas secara halus, alam dirusak, dan orang Papua kembali tersingkir di tanahnya sendiri.
Diskusi publik tentang tambang rakyat, seperti yang digelar oleh Dewan Adat Papua Wilayah 7 Meepago, menjadi ruang penting untuk menyatukan suara masyarakat adat. Dari ruang-ruang dialog inilah diharapkan lahir kebijakan yang adil, bermartabat, dan berpihak pada keberlangsungan hidup orang Papua hari ini dan generasi yang akan datang.
Oleh: Jhon Gobai Anggota DPRP
