Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan Serukan Penolakan PSN di Hari Demokrasi Internasional.

Rabu, 17 September 2025 | 08:17 WIB | 0 Views Last Updated 2025-09-20T12:19:25Z






Merauke, Kapiwuunews.org – Dalam momentum peringatan Hari Demokrasi Internasional, Komite Aksi Selamatkan Demokrasi dan Lingkungan Papua Selatan (Komasdeling Papasel) menyampaikan pernyataan sikap keras terhadap kondisi demokrasi dan lingkungan di Papua Selatan. Dengan tema “Buka Ruang Demokrasi Seluas-Luasnya Untuk Penyelesaian Konflik Perampasan Tanah Adat di Seluruh Wilayah Papua Selatan” organisasi ini menilai bahwa praktik demokrasi di Papua masih jauh dari prinsip-prinsip dasar yang seharusnya dijunjung tinggi pada 15 September 2025.


Kordinator Umum Komasdeling Papasel, Ambrosius Nit, menyebut demokrasi di Papua saat ini hanya dipahami sebatas pemilu lima tahunan, sementara hak rakyat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan hukum nyaris tidak pernah diakomodir. Ia menegaskan, maraknya perampasan tanah adat dan meningkatnya pelanggaran HAM merupakan bukti nyata bahwa ruang demokrasi telah dibungkam.


Dalam pernyataan tersebut, Komasdeling Papasel, menyoroti pelaksanaan Program Strategis Nasional (PSN) di Merauke, khususnya proyek perkebunan tebu, cetak sawah, dan optimalisasi lahan pertanian dengan luas lebih dari 2,3 juta hektar. Menurut mereka, proyek ini telah menyebabkan kerusakan besar pada hutan, rawa, dan tanah adat masyarakat Marind Maklew di Distrik Ilwayab.


Organisasi ini menuding PSN sebagai program ilegal dan cacat hukum karena tidak memenuhi syarat partisipasi masyarakat adat, tidak melalui kajian lingkungan hidup, serta mengabaikan regulasi terkait tata ruang dan perizinan. Kehadiran aparat militer dalam pengawasan proyek juga dipandang sebagai bentuk intimidasi terhadap warga yang menolak menyerahkan tanahnya.


“PSN Merauke merupakan proyek pemusnahan masyarakat adat Papua Selatan karena dijalankan tanpa partisipasi bermakna dari rakyat dan hanya menguntungkan segelintir elit kapitalis,” ujar Ambrosius Nit.


Komasdeling Papasel menuding sejumlah keluarga pengusaha besar seperti Fangiono dan Martua Sitorus berada di balik kepentingan bisnis perkebunan dan energi di Papua. Mereka menilai negara tunduk pada sistem ekonomi kapitalis yang mengorbankan rakyat demi profit.


Selain itu, organisasi ini menyoroti praktik politik adu domba di tingkat lokal yang disebut melemahkan persatuan masyarakat adat, khususnya komunitas Marind.


Sebagai bagian dari pernyataan sikapnya, Komasdeling Papasel mengajukan puluhan tuntutan politik, antara lain:


  1. Menolak seluruh program PSN di Papua Selatan.
  2. Menolak pembangunan batalyon baru di Papua Selatan.
  3. Menutup tambang ilegal di wilayah Korowai Kombai dan daerah lain di Papua Selatan.
  4. Menolak transmigrasi dan memekaran sejumlah kabupaten baru.
  5. Menuntut pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis bagi orang asli Papua Selatan.
  6. Menuntut penghentian perkebunan kelapa sawit di berbagai distrik di Merauke.
  7. Membuka akses seluas-luasnya bagi jurnalis independen di Tanah Papua.
  8. Menghentikan operasi militer di berbagai wilayah konflik di Papua.
  9. Menutup Freeport dan menghentikan rencana pengembangan sejumlah blok tambang.


Selain itu, mereka juga menuntut agar pelaku pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan warga sipil, segera diusut tuntas.


Di akhir pernyataan, Komasdeling Papasel menyerukan persatuan rakyat Papua Selatan untuk melawan sistem yang mereka anggap menindas. “Hanya persatuan sejati di bawah payung organisasi rakyat yang terorganisir yang akan membawa kita pada gerbang pembebasan tanpa penindasan,” tegas Ambrosius.


Deklarasi ini ditutup dengan salam demokrasi dan seruan untuk merebut kembali kedaulatan rakyat Papua Selatan.


(**)

×
Berita Terbaru Update