Merauke, Kapiwuunews.org 17 September 2025 – Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Yalimo (IPMKY) Kota Studi Merauke, Papua Selatan, menggelar konferensi pers untuk menyampaikan sikap resmi terkait kerusuhan yang terjadi di Elelim, Kabupaten Yalimo, Provinsi Papua Pegunungan, pada 16 September 2025. Insiden itu dipicu oleh dugaan tindakan rasisme yang dialami seorang pelajar Orang Asli Papua (OAP) di SMA Negeri 1 Elelim.
Menurut keterangan yang dihimpun IPMKY, kasus bermula sehari sebelumnya, 15 September 2025, ketika seorang siswa OAP menggambar sketsa manusia di papan tulis. Lukisan tersebut awalnya dipuji oleh teman-temannya. Namun, seorang siswa non-OAP justru mengeluarkan kata-kata rasis dengan menyamakan wajah pelukis dengan “monyet”.
Pernyataan tersebut memicu kemarahan. Keesokan harinya, siswa-siswi OAP menanyakan langsung perihal ucapan tersebut. Situasi memanas hingga berujung pada pengeroyokan, kemudian berlanjut dengan aksi pembakaran kios milik keluarga siswa non-OAP yang diduga melontarkan ujaran rasis. Api dengan cepat merembet ke deretan kios di sepanjang Jalan Trans Wamena–Elelim, hingga aparat keamanan dikerahkan.
Dalam upaya pengendalian massa, aparat disebut melepaskan tembakan. Peluru nyasar mengenai sejumlah warga, mengakibatkan empat korban dari pihak OAP. Seorang di antaranya, bernama Zadrak Yohame, dilaporkan meninggal dunia. Jenazahnya telah dipulangkan ke kampung halamannya di Hubakma, Elelim.
Hingga Rabu (17/9), kondisi di Elelim masih mencekam. Aparat gabungan dari Wamena telah dikerahkan untuk memperkuat pengamanan, sementara warga setempat memilih tetap waspada karena khawatir konflik meluas.
IPMKY menilai peristiwa di Yalimo bukan insiden biasa, melainkan bukti berulang dari diskriminasi rasial terhadap orang Papua. Menurut mereka, ucapan rasis “monyet” yang memicu kerusuhan adalah bagian dari pola stigma dan kolonialisme yang dialami orang Papua sejak lama.
“Kematian Sadrak Yohame adalah bukti bahwa negara masih menggunakan pendekatan represif, bahkan terhadap pelajar. Papua bukan monyet, Papua adalah manusia ciptaan Tuhan dengan harkat dan martabat,” tegas pernyataan IPMKY.
Mereka juga menyebut tragedi ini mengingatkan pada kasus rasisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang pada 2019, yang kala itu juga berujung pada aksi protes besar.
Dalam konferensi persnya, IPMKY menyampaikan enam poin tuntutan utama:
- Mengutuk segala bentuk tindakan rasisme terhadap pelajar dan rakyat Yalimo.
- Mengadili pelaku diskriminasi rasial terhadap pelajar dan rakyat Papua di Yalimo.
- Menghentikan pemeliharaan stigma rasis terhadap rakyat Papua di seluruh Tanah Papua.
- Mengungkap dan menangkap pelaku penembakan yang menewaskan Zadrak Yohame.
- Menarik pasukan militer organik dan non-organik dari wilayah Yalimo dan seluruh Tanah Papua.
- Menyatakan bahwa negara Indonesia rasis terhadap rakyat Papua.
IPMKY juga mendesak Komisi HAM PBB segera turun tangan untuk menjamin keselamatan, kenyamanan, dan keamanan rakyat sipil, khususnya pelajar dan mahasiswa Papua.
“Papua sedang berduka, tetapi perlawanan atas penindasan tidak bisa dipadamkan dengan peluru. Rasisme adalah musuh bersama, dan kami menegaskan: rakyat Papua bukan monyet,” tegas pernyataan IPMKY menutup konferensi pers.