Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Perjalanan Menuju Mabow: Sebuah Renungan di Atas Gunung Damiyago

Kamis, 13 Maret 2025 | 17:36 WIB | 0 Views Last Updated 2025-03-15T04:07:21Z








Siriwo, Kapiwuunews.org - Cerpen ini saya menulis dengan berjudul "Perjalanan Menuju Mabow" Sebuah Renungan di Atas Gunung Damiyago penuh sedih ketika melihat keindahan alam Papua sangat unik dan menarik dan di sebut Papua dibalik lensa kamera banyak momen yang tersimpan Pada 30 Desember 2021.


Kami, sekelompok putra jalan, melangkah dalam perjalanan panjang menuju Kampung Mabow. Kaki kami menapaki tanah lembab yang ditutupi dedaunan hijau, melewati hutan alam Papua yang begitu megah. Cahaya matahari menyelinap di antara dahan-dahan pohon, menciptakan bayangan yang menari di atas tanah. Di setiap helaan napas, udara segar memenuhi paru-paru kami, seolah Tuhan sendiri menitipkan kehidupan di atas tanah ini.  


Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa. Kami harus melewati gunung, lembah, sungai, dan kayu tumbang yang menghadang jalan. Barang-barang berat kami pikul di pundak, karena Kampung Mabow jauh dari perkotaan, terpencil di sudut alam yang masih perawan. Tak ada kendaraan yang bisa membawa kami ke sana; hanya kaki dan tekad yang menjadi kekuatan.  


Waktu terus berjalan. Kami telah menempuh lebih dari sembilan jam perjalanan. Dedauan hijau menjadi alas kami, ranting-ranting kecil patah di bawah pijakan kaki. Rasa lelah menyergap, namun hati kami tetap hangat, menikmati sejuknya udara yang membelai wajah.  


Kami tiba di tepi Kali Kupi—airnya jernih, mengalir tanpa noda, membawa kesejukan yang begitu alami. Beberapa dari kami mencuci muka, membasahi tubuh yang mulai berpeluh. Di seberang sana, Gunung Damiyago berdiri megah, puncaknya menanti untuk kami daki.  


Perlahan, langkah demi langkah, kami mendaki gunung itu. Jalannya terjal, tapi semangat kami tak mudah surut. Beberapa jam kemudian, akhirnya kami sampai di puncak. Di antara kami, seorang pria bernama Tenmar duduk di atas batu besar. Dia menghela napas panjang, matanya menerawang jauh ke arah lembah hijau yang membentang luas di bawahnya.  


“Sungguh indah,” bisiknya. Ada rasa haru yang menggumpal dalam hatinya. “Ciptaan Tuhan ini begitu mulia, menakjubkan, dan mempesona.”  


Namun, di balik kekaguman itu, ada perasaan pedih yang menyelinap dalam hatinya. Papua, tanah yang begitu kaya dan elok, telah lama menjadi incaran orang-orang dari luar. Kekayaan alamnya dirampas oleh kepentingan politik dan ekonomi. Hutan yang megah ditebang tanpa belas kasihan, sungai yang jernih perlahan mengalir bersama limbah.  


Tenmar menatap jauh, merenungi nasib bangsanya. “Kami pemilik tanah ini,” katanya lirih. “Tapi mengapa kami merasa menjadi tamu di rumah sendiri? Seperti pepatah, ‘Padi mati di atas beras,’ begitulah nasib kami di tanah ini.”  


Tatapan Tenmar semakin dalam, seolah menembus cakrawala. Adakah keadilan di negeri ini? Apakah hukum hanya berlaku untuk kepentingan tertentu, sementara rakyat Papua dibiarkan tertindas di tanah kelahirannya sendiri?  


Langit di atas Gunung Damiyago perlahan berubah warna, matahari mulai merunduk ke ufuk barat. Kami duduk bersama di puncak gunung, menyaksikan keindahan yang menyimpan luka. Alam Papua tetap menawan, tetapi hati kami terus bertanya—akankah keindahan ini tetap abadi, atau hanya tinggal kenangan yang perlahan hilang?


(Penulis : Marten Dogomo)

×
Berita Terbaru Update