Merauke, Kapiwuunews.org — Aliansi Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua Selatan mengeluarkan Aksi Mimbar Bebas dan pernyataan sikap keras terhadap pemerintah daerah maupun pusat terkait memburuknya kondisi sosial, budaya, dan ekonomi di wilayah Papua Selatan. Rakyat menilai negara telah gagal menjalankan tanggung jawabnya dalam melindungi hak-hak dasar dan martabat budaya masyarakat adat provinsi Papua Barat Daya kabupaten Merauke Aksi Mimbar Bebas Pada 2 November 2025.
Dalam dokumen resmi yang diterima redaksi, aliansi menilai berbagai kebijakan pemerintah justru mencederai rasa keadilan dan nilai-nilai budaya masyarakat Papua Selatan. Salah satu sorotan utama adalah tindakan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang memusnahkan mahkota Cenderawasih simbol budaya orang Papua tanpa melibatkan lembaga adat setempat.
“Pemusnahan mahkota Cenderawasih bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi penghinaan terhadap jati diri dan martabat budaya orang Papua,” demikian kutipan pernyataan tertulis aliansi tersebut.
Aliansi menilai tindakan BBKSDA Papua telah melanggar Permen LHK No. 26 Tahun 2017 yang seharusnya mengatur barang bukti satwa dilindungi dititipkan ke museum atau lembaga konservasi, bukan dimusnahkan sembarangan.
Selain itu, Korlap Umum Basilius M.Bovi menyoroti meningkatnya angka kriminalitas, pengangguran, dan ketimpangan sosial-ekonomi di Papua Selatan sebagai bukti lemahnya kinerja pemerintah daerah.
“Kondisi ini menunjukkan gagalnya negara dalam mewujudkan amanat Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi setiap warga negara,” tegas Basilius M.Bovi
Aliansi juga menuntut agar Majelis Rakyat Papua Selatan (MRP Selatan) serta Gubernur Papua Selatan bertanggung jawab atas situasi tersebut. Menurut mereka, kedua lembaga ini memiliki kewenangan hukum berdasarkan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk melindungi hak-hak masyarakat adat.
Dalam pernyataannya, Aliansi Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua Selatan menyampaikan sejumlah tuntutan, di antaranya:
- Menggelar sidang luar biasa untuk mengevaluasi tindakan yang melukai martabat budaya masyarakat adat.
- Menyusun Perdasus perlindungan simbol budaya seperti mahkota Cenderawasih.
- Membentuk tim pemantauan sosial-budaya dan keamanan masyarakat adat.
- Menerbitkan peraturan gubernur tentang pemulihan nilai adat dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
- Melakukan reformasi birokrasi di sektor hukum, sosial, dan ketenagakerjaan.
- Menetapkan status darurat sosial-budaya di wilayah terdampak.
- Menindak tegas pejabat BBKSDA Papua yang melakukan pemusnahan simbol budaya tanpa konsultasi adat.
- Membentuk mekanisme nasional perlindungan budaya dan simbol adat di wilayah Papua.
Selain itu, mereka juga mendesak transparansi data sosial dan kriminalitas serta penegakan hukum yang berkeadilan berbasis kearifan lokal dan hak asasi manusia.
Dalam penutupnya, aliansi menyebut bahwa pernyataan sikap tersebut adalah bentuk tanggung jawab moral dan politik untuk membela hak-hak rakyat Papua Selatan. Mereka menegaskan, pengabaian terhadap nilai-nilai adat dan pembiaran terhadap ketimpangan sosial merupakan pelanggaran terhadap hukum nasional dan kemanusiaan.
“Kami berdiri bukan untuk melawan, tetapi untuk mengingatkan bahwa budaya dan martabat orang Papua adalah bagian dari jantung kehidupan bangsa ini,” tulis aliansi dalam pernyataannya.
(Penulis Oleh : Marti Magai)
