Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Opini: Sayur Paku, Cita Rasa Alam dan Jiwa dari Hutan Papua

Kamis, 30 Oktober 2025 | 18:37 WIB | 0 Views Last Updated 2025-11-01T22:48:14Z



Nabire, Papua Tengah Kapiwuunews.org — Di balik Lembah hutan lembap yang menyelimuti tanah Papua, tumbuh sebatang kehidupan yang sering luput dari perhatian: sayur paku. Dalam bahasa alam, ia dikenal sebagai (Fern fiddlehead) daun muda yang melingkar indah seperti janji kehidupan baru. Namun bagi orang Papua, sayur paku bukan sekadar tumbuhan liar yang tumbuh di tepi sungai atau lereng bukit. Ia adalah simbol kesederhanaan, kearifan lokal, dan hubungan suci antara manusia dan alam.


Setiap kali masyarakat Papua memetik pucuknya yang hijau muda, mereka tak sekadar mencari bahan makanan, melainkan menyapa kembali ibu bumi yang memberi kehidupan. Dalam tradisi Bakar Batu sebuah ritual syukur yang menyatukan hati  sayur paku selalu hadir. Ia diletakkan di atas batu panas, bersanding dengan daging babi, ubi, dan daun-daun hutan, seolah ikut bercerita tentang cinta dan persaudaraan. Dalam setiap uap yang naik dari batu panas, terselip makna gotong royong dan rasa hormat terhadap alam yang memberi tanpa pamrih.


Rasa sayur paku yang lembut dan manis alami seakan membawa kita pulang  pada kenangan masa kecil di kampung, pada tawa di sekitar api unggun, pada aroma tanah basah yang menghidupkan rindu. Ia bukan hanya makanan, tetapi juga bahasa emosional yang menyatukan manusia dengan tanahnya.


Lebih dari itu, sayur paku adalah simbol cara hidup masyarakat Papua: hidup yang bersahaja, penuh syukur, dan dekat dengan alam. Ia tumbuh tanpa pupuk buatan, disirami air murni pegunungan, dan dipetik dengan tangan penuh hormat. Itulah sebabnya orang tua selalu berkata,


“Ciptaan Tuhan, daun paku yang kita makan tumbuh dari tanah yang diberkati. Ia bukan sekadar sayur, tapi lambang cinta antara manusia dan bumi. Setiap helainya adalah doa hijau dari alam Papua, yang mengajarkan kita untuk hidup selaras dengan ciptaan-Nya, tanpa serakah, tanpa lupa asal-usul kita.”


Namun, di tengah arus modernisasi dan gempuran makanan instan, sayur paku mengingatkan kita untuk tidak kehilangan arah. Bahwa di balik semua kemajuan, ada nilai-nilai alam yang tak boleh dilupakan. Sebab, siapa yang meninggalkan akarnya, lambat laun akan kehilangan jati dirinya.


Sayur paku juga mengandung pesan ekologis yang kuat. Ia tumbuh hanya di tempat yang airnya masih jernih dan tanahnya masih hidup. Artinya, selama sayur paku masih tumbuh subur di hutan-hutan Papua, berarti alam kita masih bernapas. Tetapi bila daun-daunnya mulai menghilang, itu pertanda alam kita mulai kehilangan keseimbangannya.


Dalam prosesi Bakar Batu, sayur paku menjadi saksi kebersamaan. Semua warga ikut turun tangan ada yang memetik, ada yang menyiapkan batu panas, ada yang menyusun daun. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Di hadapan alam, semua sama. Itulah nilai sosial yang diwariskan oleh para leluhur  bahwa makan bukan hanya untuk kenyang, tetapi untuk bersyukur bersama.


"menjaga sayur paku sama artinya menjaga jati diri kita. Menjaga cara hidup yang menghormati alam, menghargai kebersamaan, dan memuliakan kesederhanaan".


Bagi saya pribadi, sayur paku bukan hanya makanan, tetapi doa yang tumbuh dari tanah. Ia adalah warisan rasa dan makna dari Tuhan untuk rakyat Papua  cita rasa alam yang mengajarkan kita arti kehidupan yang sesungguhnya.


Oleh: Marten Dogomo.



×
Berita Terbaru Update