Nabire, Kapiwuunews.org - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Nabire dari Komisi B, Daniel Mumakapa, menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap berbagai persoalan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat adat Papua Tengah, khususnya di wilayah Kabupaten Nabire. Pada 4 Juni 2025
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar pada Rabu, 4 Juni bersama sejumlah instansi terkait, Daniel memperkenalkan diri secara resmi sebagai wakil rakyat dari tanah kelahirannya, Nabire. Ia menegaskan bahwa sebagai anak adat Papua Tengah, ia membawa suara rakyat kecil, terutama mama-mama Papua yang selama ini kurang mendapat perhatian.
“Mama-mama Papua di Teluk Kimi, Samabusa, hingga depan SPBU Wonorejo adalah potret nyata perjuangan rakyat kecil. Mereka menjual pinang, sayur, dan hasil bumi dari tangan mereka sendiri, tanpa tempat layak, tanpa perlindungan. Ini perlu perhatian serius dari Dinas Perdagangan dan instansi terkait,” tegas Daniel.
Ia mengungkapkan bahwa hasil jualan mereka per hari hanya berkisar antara Rp150.000 hingga Rp300.000. Namun meski kecil, usaha ini menjadi tumpuan hidup bagi banyak keluarga asli Papua.
Daniel juga menyoroti persoalan kebersihan dan tata ruang di ibu kota Provinsi Papua Tengah, Nabire. “Wilayah Meepago ini kini menjadi pusat pemerintahan, tetapi kebersihan, sampah rumah tangga, dan penataan ruang (RTRW) belum dikelola dengan baik. Ini seharusnya menjadi tanggung jawab serius Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Nabire,” ujarnya.
Ia menambahkan, meskipun Nabire memiliki 15 distrik dan 72 kampung, beberapa pembangunan masih belum merata. "Saya lahir dan besar di kota ini, tapi pembangunan perkantoran dan layanan publik sering tidak berpihak pada rakyat kecil," katanya.
Dalam forum RDP tersebut, Daniel juga secara tegas menentang maraknya peredaran minuman keras (miras) di kota Nabire. Menurutnya, peredaran miras telah menyebabkan berbagai masalah serius seperti kecelakaan lalu lintas, meningkatnya kekerasan, bahkan penyebaran HIV/AIDS.
“Banyak korban meninggal akibat miras. Kita minta Dinas Perizinan mengevaluasi dan mencabut izin penjualan miras. Kita juga tidak bisa terus membiarkan generasi muda OAP dirusak oleh miras,” kata Daniel.
Daniel mengaku sempat bertemu dengan seorang warga yang ingin membuka usaha kecil namun gagal mendapat akses permodalan dari salah satu bank di Nabire. “Dokumen sudah dimasukkan, tetapi nasabah dari bank tersebut tak kunjung datang ke Teluk Kimi. Ini membuktikan ketimpangan akses modal bagi masyarakat kecil,” jelasnya.
Menutup pernyataannya, Daniel juga menyerukan agar isu-isu besar seperti ekspansi industri ekstraktif, termasuk pertambangan nikel di Raja Ampat, tidak merugikan masyarakat adat di lima provinsi Tanah Papua: Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya.
“Saya kecewa karena persoalan-persoalan ini masih diabaikan. Kita perlu bersatu sebagai anak adat Papua untuk menolak ketidakadilan yang terus berlangsung,” tegasnya.
Komisi B DPRK Nabire telah mengundang sejumlah pihak seperti Bapenda, Dinas Perdagangan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Perizinan, serta Pemda Nabire untuk membahas secara konkret penanganan masalah-masalah tersebut. RDP ini diharapkan menjadi momentum awal untuk menghadirkan keadilan dan perlindungan bagi masyarakat adat di tanah sendiri.
(**)