Dogiyai, Kapiwuunews.org — Wacana pemekaran Kabupaten Mapia Raya kembali menuai penolakan dari berbagai pihak, khususnya kalangan muda dan intelektual lokal. Salah satu suara keras datang dari Marten Dogomo, pemuda Dogiyai yang aktif memperjuangkan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan di Papua Tengah.
Menurut Marten, pemekaran bukan solusi kesejahteraan, melainkan ancaman serius terhadap tanah adat, lingkungan, dan identitas budaya masyarakat Mapia.
“Ini awal kehancuran yang terencana, bukan pembangunan. Yang diuntungkan hanya elit dan investor,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa pengalaman selama ini menunjukkan pemekaran sering membuka jalan bagi perampasan tanah adat dan eksploitasi sumber daya alam.
"Hutan adalah tempat kami bernaung, sumber kehidupan yang memberi kami makanan, kayu, dan udara segar. Kini, satu per satu pohon tumbang demi kepentingan yang bukan milik kami. Sungai yang dulunya jernih, tempat anak-anak mandi dan orang tua menangkap ikan, kini perlahan keruh oleh limbah dan kerak keserakahan. Kami, pemilik sah tanah ini, justru hanya jadi penonton yang tak diajak bicara, tak diberi ruang bersuara. Tapi kami tak boleh diam. Karena jika kami diam, maka tanah ini akan hilang, dan bersama itu, hilang pula masa depan kami sebagai anak negeri. Mari bangkit, jaga yang tersisa, dan lawan semua yang merampas hak kita. Tanah ini warisan, bukan komoditas."
Marten juga mengkritik proses perencanaan yang tertutup dan tidak melibatkan masyarakat adat.
"Ketika keputusan lahir tanpa suara rakyat, itu bukan musyawarah itu manipulasi. Jangan biarkan nasib kita ditentukan oleh segelintir orang yang haus kuasa. Bangkitlah, bersuaralah! Karena tanah ini milik bersama, bukan milik mereka yang duduk di atas meja tanpa mendengar suara dari bawah." ujarnya.
Ia menilai pemekaran sarat kepentingan politik dan bisnis, bukan demi pelayanan publik. Oleh karena itu, Marten mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk menolak rencana ini dan menjaga tanah warisan leluhur.
“Tanah adalah kehidupan, hutan adalah ibu, air adalah darah kita. Jangan biarkan semua hilang karena keserakahan,” pungkasnya.
Marten dan rekan-rekannya mendesak pemerintah menghentikan rencana pemekaran dan melakukan evaluasi menyeluruh dengan melibatkan masyarakat adat. Jika dipaksakan, mereka khawatir yang lahir justru konflik sosial dan kerusakan ekologis yang sulit dipulihkan.
(**)