Papua Penuh Luka Perkara Cerpen berdasarkan tulisan Oleh: Djafar Doel AH
Angin pagi menyapu pelan wajah Tete Yonatan yang duduk di beranda rumah panggungnya di Pulau Gag. Matanya menatap laut lepas yang biru, tapi hatinya keruh. Ia tahu, laut itu takkan selamanya biru. Di bawah ombaknya yang tenang, mesin-mesin sudah bersiap menyalak.
“Papua penuh perkara, gumamnya lirih, seolah membatin kepada batu karang yang sejak kecil jadi temannya. Dulu mereka datang, bilang mau bantu. Sekarang? Mereka datang dengan ekskavator.”
Di kejauhan, kapal-kapal tambang lalu-lalang, membawa alat berat, mengangkut logam, dan perlahan menghapus garis pantai. Dulu tempat anak-anak menangkap ikan, kini dibentengi pagar besi. Aroma tanah basah tergantikan bau oli dan suara dentuman logam. Terumbu karang, yang selama ini jadi rumah ikan dan cerita-cerita tua, kini rawan remuk oleh bom laut dan pengerukan nikel.
Raja Ampat terdesak. Pulau-pulau kecil dieksploitasi, seolah-olah hanya titik di atas peta ekonomi. Hutan tropis yang rimbun dibabat perlahan, tanpa ampun. Burung cendrawasih, lambang Papua, kehilangan rumahnya.
Di tengah keriuhan mesin dan proyek, suara adat dan budaya dipinggirkan. Tarian suci dan tabuhan tifa tenggelam oleh bisingnya tambang.
Suatu malam, di balai kampung, para tetua berkumpul. Mereka membicarakan perintah dari Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia. Menghentikan sementara kegiatan pertambangan.
Tapi Tete Yonatan hanya tersenyum kecut. Ia paham betul. Kontrak PT Gag Nikel masih berlaku hingga 2047. "Apa artinya sementara? Hanya untuk meredam suara protes? Menenangkan kampanye Save Raja Ampat? Ini strategi basi," katanya sambil menggenggam tanah dari halaman rumahnya.
Tak jauh dari situ, seorang pemuda bernama Leos menulis di buku kecilnya. Ia anak kampung, tapi pikirannya jauh melanglang. Ia tahu bahwa sekarang bukan hanya manusia Papua yang dijadikan buruh murah, tapi juga alamnya dikeruk habis-habisan. Kata Leos dalam puisinya,
“Mereka menodong kami dengan senjata, lalu menanam perkara di tanah leluhur.”
Di seberang dermaga, anak-anak masih bermain, belum paham bahwa tanah tempat mereka berpijak bisa jadi bukan lagi milik mereka. Leos menatap mereka dan membatin:
“Jangan lumpuhkan ingatan kolektif kami. Kami tahu siapa yang datang, siapa yang menjual, dan siapa yang merampas.”
Di atas semua luka ini, satu hal masih tersisa: kesadaran. Kesadaran bahwa Papua bukan tanah kosong. Ia penuh cerita, penuh roh, penuh kehidupan. Lautnya bukan sekadar air asin, tapi darah dan napas. Hutan bukan hanya kayu, tapi rumah dan pelindung.
Dan jika negeri ini tak mau mendengar, maka Leos, Tete Yonatan, dan ribuan anak Papua lainnya akan tetap berkata:
Kami bukan anti kemajuan. Kami hanya menolak dihancurkan.