Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Ibu, Engkau Pelita Hidupku

Kamis, 12 Juni 2025 | 20:51 WIB | 0 Views Last Updated 2025-06-13T06:56:20Z

Papua Tengah, Kapiwuunew.org -  Ibu, Engkau Pelita Hidupku Ibu mengandung sembilan bulan, Dengan cinta yang tak terbatas,nIa relakan kenyamanannya, Demi hadirnya aku dalam pelukannya. Setiap detik waktu yang berjalan, Adalah pengorbanan yang diam-diam, Ia tahan lelah dan rasa sakit, Hanya agar aku tumbuh dengan baik. Perutnya yang membesar hari demi hari, Tak mengurangi senyumnya yang berseri, Di balik letih dan peluh yang jatuh, Ada harapan besar yang ia peluk penuh. Ibu berjalan perlahan, hati-hati, Menjaga aku di rahimnya dengan hati, Tidur terganggu, nyeri datang bertubi, Namun ia tetap sabar, tanpa keluh sekali. Tangis pertamaku adalah lagu bahagia, Yang ia nantikan dengan doa-doa setia, Sembilan bulan ia bersabar dan setia, Demi aku, darah dagingnya, anak tercinta.Wahai Ibu, pelita dalam gelapku, Sumber kekuatan dalam lemahku, Pengorbananmu takkan ku balas cukup, Namun doaku takkan pernah berhenti untukmu.


"Ibu, engkau melahirkan aku dengan susah payah, bertaruh nyawa demi hadirku di dunia. Di tengah rasa sakit yang tak terperi, engkau tetap tegar. Darah, air mata, dan doa menyatu dalam perjuanganmu, membawa hidupku dari rahimmu ke alam yang fana ini. Tak terbayang betapa besar pengorbananmu, melintasi batas rasa demi cinta yang suci. Engkau tidak hanya melahirkan ragaku, tapi juga harapan, kasih, dan seluruh hidupku. Ibu, sejak detik pertama napasku, engkau telah menjadi pelindung, perisai, dan pelita dalam gelapku."



Engkau yang pertama kali memberiku air susu dari tubuhmu, Setiap tetesnya penuh cinta, penuh harap akan hidup yang baik untukku. Ketika aku menangis di malam yang sunyi, Ibu tak pernah lelah engkau mendengar dengan penuh sabar, Engkau mengendong tubuh kecilku dengan noken dari kulit kayu dan alang-alang, Membungkusku hangat dalam pelukan kasihmu. Ibu, engkau tak hanya mengendong tubuhku, Tapi juga membawa bebanku, menenangkan tangisku, Mengusap lembut pipiku dengan tangan yang letih namun penuh cinta. Noken kulit kayu itu tak sekadar pembungkus, Tapi saksi cinta seorang ibu yang tak pernah lelah merawat, Meski malam larut dan tubuhmu lelah, engkau tetap bersiaga. Aku tahu, waktu itu aku belum bisa bicara, Namun setiap tangisku engkau mengerti, Setiap gerakku engkau pahami, Karena hatimu menyatu dengan jiwaku.



Ibu, sosok paling sabar dalam hidupku. Engkau tak pernah letih melangkah bersamaku, hari demi hari, dari pagi buta hingga malam larut. Dalam diam dan lelahmu, tak pernah sedikit pun kulihat engkau mengeluh. Engkau menyusuri setiap perjalanan hidupku dengan penuh cinta dan ketulusan. Sejak aku masih kecil, saat langkah kakiku masih goyah, engkau telah membimbingku dengan sabar. Engkau yang selalu setia mengantarku ke sekolah, walau panas menyengat dan hujan mengguyur, Engkau tak pernah bosan mendidikku, menasehatiku, bahkan ketika aku mulai membantah atau tak paham maksudmu. Dari bangku sekolah dasar, engkau sudah menjadi guru pertamaku, Mengajarkanku cara membaca, menulis, menghitung, dan memahami arti kehidupan. Engkau rela mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan impianmu sendiri demi masa depanku. Ibu, engkau bukan hanya orang yang melahirkanku, Tapi engkau adalah cahaya yang selalu menerangi jalanku, Pelita dalam setiap kegelapan, Badai yang meneduhkan, Dan peluk yang menenangkan setiap luka dalam hatiku. Aku tumbuh karena cintamu yang tak terbatas. Dan sampai hari ini, Engkau tetap menjadi sosok yang tak pernah letih mendampingi langkah-langkah hidupku.

 

Tak hanya itu, Ibu selalu menempatkan pendidikan anak-anaknya di atas segalanya. Di setiap helaan napasnya, terukir tekad bahwa anak-anaknya harus mengenyam bangku sekolah. Dalam benaknya, sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Ia memandang pendidikan sebagai cahaya penuntun yang akan membebaskan anak-anaknya dari belenggu ketidaktahuan dan kesulitan hidup. Ibu berpikir jauh ke depan, melampaui hari ini, melampaui kepayahan hidup yang dihadapinya. Dalam pikirannya yang sederhana namun penuh kebijaksanaan, terukir tekad yang kuat: “Anakku harus sekolah. Apa pun rintangannya, aku akan menghadapi.” Ia tidak peduli seberapa berat beban yang harus dipikul, karena yang ia lihat bukan hanya hari ini, tapi masa depan anak-anaknya yang cerah. Ia yakin, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa masa depan akan dimenangkan oleh mereka yang bersekolah, yang memiliki ilmu pengetahuan dan budi pekerti.

 

Dunia, bagi Ibu, adalah medan perjuangan yang keras, dan pendidikan adalah senjata utama yang harus dimiliki anak-anaknya untuk bertahan dan menang. Namun, Ibu tidak hanya bermimpi. Ia tidak berhenti pada angan-angan. Ia tidak terbuai oleh harapan semata. Ia tahu bahwa impian tidak akan terwujud tanpa usaha yang nyata. Maka ia memilih jalan yang berat: bangkit, bekerja keras, mengorbankan kenyamanan, bahkan kebutuhannya sendiri, demi masa depan buah hatinya. Siang menjadi malam, malam menjadi pagi, namun langkah Ibu tak pernah surut. Ia bekerja tanpa mengenal lelah, menjajakan barang, menyabit rumput, menjahit pakaian, atau melakukan apa pun yang halal untuk memastikan anak-anaknya bisa tetap duduk di bangku sekolah. Peluh yang menetes di wajahnya adalah bukti kasih sayang yang tulus, cinta tanpa syarat, dan pengorbanan yang tak ternilai. Keringat yang jatuh bukan sekadar tetesan air, melainkan titisan perjuangan. Setiap cucuran peluh adalah doa tanpa suara, harapan yang diam-diam dipanjatkan agar anak-anaknya sukses kelak. Ia tidak mengeluh, tidak pula menyerah. Karena di hatinya, ada satu suara yang selalu membisik: “Selama anak-anakku bisa sekolah, aku akan terus berjuang.” Begitulah Ibu sosok luar biasa yang menjadi fondasi kuat dalam kehidupan anak-anaknya. Sosok yang diam-diam membangun masa depan, satu hari dalam satu langkah perjuangan, dengan cinta yang tak terbatas dan kekuatan yang tak tergantikan.

 


Ia menanam kacang tanah di ladang kecil peninggalan keluarga, menyusuri tanah dengan harapan yang tumbuh bersama benih yang ia tanam. Tak hanya itu, ibu juga menanam buah jepan, sayur hitam, ubi, dan berbagai tanaman lain yang bisa dijual ke pasar. Setiap pagi buta ia bangun, menyingsingkan lengan, membawa hasil bumi seadanya untuk dijajakan demi mendapatkan uang. Hasil dari jerih payah itu bukan untuk dirinya, tapi semata-mata untuk biaya sekolah anaknya agar mereka bisa hidup lebih baik dari dirinya. Dalam peluh dan lelahnya, ibu menyimpan harapan besar, bahwa pendidikan adalah jalan terang bagi masa depan anak-anaknya.Ibu tidak menyerah. Ia terus berjuang, dari ladang ke pasar, dari pagi hingga sore, menantang hujan dan panas demi satu cita-cita: anaknya bisa sekolah.

 


×
Berita Terbaru Update