Papua Tengah, Kapiwuunew.org - Ibu, Engkau Pelita Hidupku Ibu mengandung sembilan bulan, Dengan cinta yang tak terbatas,nIa relakan kenyamanannya, Demi hadirnya aku dalam pelukannya. Setiap detik waktu yang berjalan, Adalah pengorbanan yang diam-diam, Ia tahan lelah dan rasa sakit, Hanya agar aku tumbuh dengan baik. Perutnya yang membesar hari demi hari, Tak mengurangi senyumnya yang berseri, Di balik letih dan peluh yang jatuh, Ada harapan besar yang ia peluk penuh. Ibu berjalan perlahan, hati-hati, Menjaga aku di rahimnya dengan hati, Tidur terganggu, nyeri datang bertubi, Namun ia tetap sabar, tanpa keluh sekali. Tangis pertamaku adalah lagu bahagia, Yang ia nantikan dengan doa-doa setia, Sembilan bulan ia bersabar dan setia, Demi aku, darah dagingnya, anak tercinta.Wahai Ibu, pelita dalam gelapku, Sumber kekuatan dalam lemahku, Pengorbananmu takkan ku balas cukup, Namun doaku takkan pernah berhenti untukmu.
"Ibu,
engkau melahirkan aku dengan susah payah, bertaruh nyawa demi hadirku di dunia.
Di tengah rasa sakit yang tak terperi, engkau tetap tegar. Darah, air mata, dan
doa menyatu dalam perjuanganmu, membawa hidupku dari rahimmu ke alam yang fana
ini. Tak terbayang betapa besar pengorbananmu, melintasi batas rasa demi cinta
yang suci. Engkau tidak hanya melahirkan ragaku, tapi juga harapan, kasih, dan
seluruh hidupku. Ibu, sejak detik pertama napasku, engkau telah menjadi
pelindung, perisai, dan pelita dalam gelapku."
Engkau yang pertama kali memberiku air susu dari tubuhmu, Setiap tetesnya penuh
cinta, penuh harap akan hidup yang baik untukku. Ketika aku menangis di malam
yang sunyi, Ibu tak pernah lelah engkau mendengar dengan penuh sabar, Engkau mengendong tubuh kecilku dengan noken dari kulit kayu dan alang-alang, Membungkusku
hangat dalam pelukan kasihmu. Ibu, engkau tak hanya mengendong tubuhku, Tapi
juga membawa bebanku, menenangkan tangisku, Mengusap lembut pipiku dengan tangan
yang letih namun penuh cinta. Noken kulit kayu itu tak sekadar pembungkus, Tapi
saksi cinta seorang ibu yang tak pernah lelah merawat, Meski malam larut dan
tubuhmu lelah, engkau tetap bersiaga. Aku tahu, waktu itu aku belum bisa
bicara, Namun setiap tangisku engkau mengerti, Setiap gerakku engkau pahami, Karena
hatimu menyatu dengan jiwaku.
Ibu, sosok paling sabar dalam hidupku. Engkau tak pernah letih melangkah
bersamaku, hari demi hari, dari pagi buta hingga malam larut. Dalam diam dan
lelahmu, tak pernah sedikit pun kulihat engkau mengeluh. Engkau menyusuri
setiap perjalanan hidupku dengan penuh cinta dan ketulusan. Sejak aku masih
kecil, saat langkah kakiku masih goyah, engkau telah membimbingku dengan sabar.
Engkau yang selalu setia mengantarku ke sekolah, walau panas menyengat dan hujan
mengguyur, Engkau tak pernah bosan mendidikku, menasehatiku, bahkan ketika aku
mulai membantah atau tak paham maksudmu. Dari bangku sekolah dasar, engkau
sudah menjadi guru pertamaku, Mengajarkanku cara membaca, menulis, menghitung,
dan memahami arti kehidupan. Engkau rela mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan
impianmu sendiri demi masa depanku. Ibu, engkau bukan hanya orang yang
melahirkanku, Tapi engkau adalah cahaya yang selalu menerangi jalanku, Pelita
dalam setiap kegelapan, Badai yang meneduhkan, Dan peluk yang menenangkan
setiap luka dalam hatiku. Aku tumbuh karena cintamu yang tak terbatas. Dan
sampai hari ini, Engkau tetap menjadi sosok yang tak pernah letih mendampingi
langkah-langkah hidupku.
Tak hanya itu, Ibu selalu menempatkan pendidikan
anak-anaknya di atas segalanya. Di setiap helaan napasnya, terukir tekad bahwa
anak-anaknya harus mengenyam bangku sekolah. Dalam benaknya, sekolah bukan
sekadar tempat belajar, tetapi jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Ia
memandang pendidikan sebagai cahaya penuntun yang akan membebaskan anak-anaknya
dari belenggu ketidaktahuan dan kesulitan hidup. Ibu berpikir jauh ke depan,
melampaui hari ini, melampaui kepayahan hidup yang dihadapinya. Dalam
pikirannya yang sederhana namun penuh kebijaksanaan, terukir tekad yang kuat: “Anakku harus sekolah. Apa pun rintangannya, aku
akan menghadapi.” Ia tidak peduli seberapa berat beban yang harus dipikul,
karena yang ia lihat bukan hanya hari ini, tapi masa depan anak-anaknya yang
cerah. Ia yakin, dengan keyakinan yang tak tergoyahkan, bahwa masa depan akan
dimenangkan oleh mereka yang bersekolah, yang memiliki ilmu pengetahuan dan
budi pekerti.
Dunia, bagi Ibu, adalah medan perjuangan yang
keras, dan pendidikan adalah senjata utama yang harus dimiliki anak-anaknya
untuk bertahan dan menang. Namun, Ibu tidak hanya bermimpi. Ia tidak berhenti
pada angan-angan. Ia tidak terbuai oleh harapan semata. Ia tahu bahwa impian
tidak akan terwujud tanpa usaha yang nyata. Maka ia memilih jalan yang berat:
bangkit, bekerja keras, mengorbankan kenyamanan, bahkan kebutuhannya sendiri,
demi masa depan buah hatinya. Siang menjadi malam, malam menjadi pagi, namun
langkah Ibu tak pernah surut. Ia bekerja tanpa mengenal lelah, menjajakan
barang, menyabit rumput, menjahit pakaian, atau melakukan apa pun yang halal untuk
memastikan anak-anaknya bisa tetap duduk di bangku sekolah. Peluh yang menetes
di wajahnya adalah bukti kasih sayang yang tulus, cinta tanpa syarat, dan
pengorbanan yang tak ternilai. Keringat yang jatuh bukan sekadar tetesan air,
melainkan titisan perjuangan. Setiap cucuran peluh adalah doa tanpa suara,
harapan yang diam-diam dipanjatkan agar anak-anaknya sukses kelak. Ia tidak
mengeluh, tidak pula menyerah. Karena di hatinya, ada satu suara yang selalu
membisik: “Selama anak-anakku bisa sekolah,
aku akan terus berjuang.” Begitulah Ibu sosok luar biasa yang menjadi
fondasi kuat dalam kehidupan anak-anaknya. Sosok yang diam-diam membangun masa
depan, satu hari dalam satu langkah perjuangan, dengan cinta yang tak terbatas
dan kekuatan yang tak tergantikan.
Ia menanam kacang tanah di ladang kecil peninggalan keluarga, menyusuri tanah
dengan harapan yang tumbuh bersama benih yang ia tanam. Tak hanya itu, ibu juga
menanam buah jepan, sayur hitam, ubi, dan berbagai tanaman lain yang bisa
dijual ke pasar. Setiap pagi buta ia bangun, menyingsingkan lengan, membawa
hasil bumi seadanya untuk dijajakan demi mendapatkan uang. Hasil dari jerih
payah itu bukan untuk dirinya, tapi semata-mata untuk biaya sekolah anaknya agar
mereka bisa hidup lebih baik dari dirinya. Dalam peluh dan lelahnya, ibu
menyimpan harapan besar, bahwa pendidikan adalah jalan terang bagi masa depan
anak-anaknya.Ibu tidak menyerah. Ia terus berjuang, dari ladang ke pasar, dari
pagi hingga sore, menantang hujan dan panas demi satu cita-cita: anaknya bisa sekolah.