Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Indonesia Mengabaikan Pengusi Intelnal, Namun Peduli Pada Pengusi Papua.

Minggu, 26 Januari 2025 | 20:37 WIB | 0 Views Last Updated 2025-01-29T09:15:55Z












Papua, Kapiwuunews.org — Mengabaikan pengungsi orang Papua (Melanesian) sama halnya dengan menanamkan kebencian terhadap Pemerintahan Negara Indonesia. Wamena, 26 Januari 2025


Pengungsi di tanah Papua bukanlah fenomena baru bagi masyarakat Papua. Sejak awal operasi militer dalam pencaplokan Papua ke dalam wilayah Indonesia, ribuan orang Papua telah dipaksa meninggalkan rumah mereka. Banyak yang melarikan diri ke hutan-hutan, bahkan hingga keluar negeri, dengan konsekuensi tragis kematian di tengah belantara akibat kekerasan dan kelaparan.


Sejak masa Orde Baru hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum menunjukkan keseriusan dalam memulangkan atau memulihkan pengungsi akibat operasi militer di tanah Papua. Ribuan orang kehilangan rumah, akses pendidikan, kesehatan, hingga keamanan dasar mereka. Situasi ini merupakan potret buruk dari kebijakan negara terhadap warganya sendiri kondisi yang tidak manusiawi, merusak, dan mencerminkan krisis kemanusiaan.


Di tengah perhatian Indonesia terhadap pengungsi internasional, seperti Rohingya, Palestina, dan Ukraina, pengungsi internal di Papua tetap diabaikan. Contohnya, ribuan pengungsi dari Nduga, Pegunungan Bintang, dan Maybrat masih terkatung-katung tanpa solusi nyata.


Transisi pemerintahan di Papua, dengan penunjukan Penjabat (PJ) Bupati dan Gubernur dari latar belakang TNI-Polri yang minim pemahaman sosial budaya setempat, hanya memperparah keadaan. Konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI-Polri yang terus berlangsung mengakibatkan puluhan ribu orang Papua mengungsi. Ironisnya, para pejabat ini tidak memiliki agenda nyata untuk menyelesaikan konflik atau memulangkan para pengungsi.


Pendekatan militer yang telah berlangsung sejak 1963 terbukti gagal menyelesaikan persoalan Papua. Sebaliknya, ini hanya menambah korban jiwa, baik dari TNI-Polri, TPNPB, maupun masyarakat sipil. Pendekatan keamanan tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah, gereja, LSM, dan pegiat HAM hanya menciptakan trauma dan kehancuran.


Hingga saat ini, ribuan pengungsi Papua seperti dari Nduga, Yahukimo, Intan Jaya, dan Maybrat tetap hidup dalam ketidakpastian. Negara tampaknya lebih peduli pada citra internasional dengan memberikan bantuan besar-besaran kepada pengungsi Rohingya atau Palestina, namun tidak bagi rakyatnya sendiri.


Seperti yang pernah ditulis almarhum Filep Karma dalam bukunya, Seakan Kitorang Setengah Binatang, ada stigma mendalam terhadap orang Papua. Pernyataan kontroversial Hendropriyono tentang "menghilangkan ras Melanesia" hanya mempertegas diskriminasi sistematis yang dialami orang Papua.


Apakah orang Papua dianggap bukan manusia? Atau sekadar beban negara. Jika benar demikian, maka solusi damai dan demokratis melalui perundingan harus segera dilakukan untuk memutus mata rantai kebencian dan ketidakadilan ini.


Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua seharusnya menjadi momentum untuk mempercepat pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, pemerintah provinsi dan kabupaten, terutama di wilayah pegunungan, justru gagal melihat pengungsi sebagai bagian dari masyarakat yang harus dilindungi.


Para pengungsi adalah korban, bukan pelaku kejahatan. Mereka adalah pemilik tanah adat, yang haknya telah dirampas oleh kekerasan dan operasi militer. Namun, pemerintah daerah tampak enggan mengambil langkah konkret untuk memulihkan kehidupan mereka.


Para pengungsi Papua berhak kembali ke rumah mereka. Tanah dan hutan adat adalah warisan turun-temurun yang harus dijaga dan dinikmati. Pemerintah harus memberikan jaminan keamanan dan bekerja sama dengan lembaga HAM dan kemanusiaan untuk memastikan pemulangan para pengungsi.


Abainya negara terhadap pengungsi Papua hanya akan memperkuat ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Ribuan pengungsi hidup dalam kondisi buruk: kelaparan, sakit, kematian, dan kehilangan akses pendidikan. Jika negara terus diam, trauma ini akan menjadi luka permanen bagi orang Papua.


Pemerintah harus bertindak segera. Penyelesaian konflik di Papua tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan militer. Pendekatan kemanusiaan, dialog damai, dan rekonsiliasi adalah solusi nyata untuk memulihkan kehidupan pengungsi Papua. Indonesia tidak boleh mengabaikan warganya sendiri demi menjaga citra di panggung internasional.


  

Penulis : Yefta Lengka Aktivis Kemanusiaan asal Wamena

×
Berita Terbaru Update