Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Resmi Dilanti Anggoto DPR Provinsi Papua Tengah Peter Worebay

Kamis, 07 November 2024 | 05:30 WIB | 0 Views Last Updated 2024-11-24T08:03:45Z






(Photo Anggota DPR Provinsi Papua Tengah Peter Woroby Petik Berita Dari Video TadaTV)


Nabire,Kapiwuunews.org, Resmi Dilantik DPRP Sebanyak 40 anggota DPRP Papua Tengah Periode 2024-2029 resmi dilantik di aula kantor DPR yang berada di jalan pepera, nabire provinsi papua tengah. Pelantikan tersebut ditandai dengan pengucapan sumpah janji sebagai anggota terpilih. Hari ini, rabu, 06 November 2024, 


Sebagai provinsi baru, puluhan legislator ini di isi oleh orang baru, yang pertama dan akan melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan dan budgeting Peter Worobai, Anggota DPR Provinsi baru Papua Tengah, menyampaikan penolakan tegas terhadap program transmigrasi yang akan diberlakukan di Papua. Menurut Worobai, kebijakan tersebut membawa risiko serius terhadap eksistensi hak-hak adat serta menggerus kearifan lokal masyarakat Papua, terutama dalam hal kepemilikan dan pengelolaan tanah adat. Hal ini tidak hanya mengancam jati diri dan budaya orang asli Papua, tetapi juga menciptakan ketimpangan yang mendalam di tengah-tengah masyarakat.


Worobai menekankan bahwa yang Papua butuhkan bukanlah arus transmigrasi besar-besaran, melainkan upaya yang lebih intens untuk menyediakan tenaga pengajar dan tenaga medis. “Daripada mengirim pendatang untuk mengisi wilayah kami, lebih baik fokus pada peningkatan kualitas layanan pendidikan dan kesehatan yang sangat mendesak di wilayah-wilayah pedalaman Papua,” ujarnya. Kekurangan guru dan dokter di Papua Tengah, menurutnya, justru lebih menghambat pembangunan daripada kekurangan tenaga kerja di sektor lain yang bisa dikelola sendiri oleh masyarakat lokal.


Ancaman Terhadap Hak-Hak Adat dan Kearifan Lokal Program transmigrasi, yang diinisiasi oleh pemerintah pusat, dinilai berpotensi merusak tatanan kehidupan masyarakat Papua yang selama ini berlandaskan hak adat dan kearifan lokal. Papua bukan sekadar tanah kosong yang bisa dialokasikan untuk siapa saja. Setiap jengkal tanah memiliki makna, sejarah, dan identitas bagi masyarakat adat, yang mewarisinya turun-temurun. “Tanah Papua memiliki pemilik, dan mereka adalah masyarakat adat yang sudah tinggal di sini sejak leluhur mereka. Penetapan program transmigrasi yang seolah-olah mengabaikan keberadaan hak ulayat ini sangat tidak adil dan perlu dikaji ulang,” tegas Worobai.


Ia juga mengkritik ketidakadilan dalam hal fasilitas dan dukungan yang diberikan kepada para pendatang. Menurut Worobai, pendatang diberi kemudahan dalam mengakses lahan dan fasilitas dasar, sementara masyarakat asli sering kali terpinggirkan dalam program-program tersebut. Hal ini bukan saja merugikan masyarakat lokal, tetapi juga dapat memicu konflik horizontal yang seharusnya bisa dihindari jika kebijakan dilandasi prinsip keadilan dan pengakuan terhadap hak-hak adat.


Pentingnya Pembukaan Ruang Demokrasi di Nabire Di tengah polemik transmigrasi ini, Worobai menekankan pentingnya membuka ruang demokrasi yang lebih luas di Kabupaten Nabire sebagai pusat administratif Papua Tengah. Menurutnya, aspirasi masyarakat Papua Tengah harus dihormati dan diakomodasi dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan mereka.


“Kami di DPR Papua Tengah akan terus memperjuangkan suara rakyat agar tidak diabaikan. Jika ruang demokrasi ini dibuka lebar, maka keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat mencerminkan keinginan dan kepentingan nyata dari masyarakat lokal,” ujarnya. Pembukaan ruang demokrasi ini diharapkan tidak hanya akan memperkuat posisi masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka, tetapi juga memupuk kepercayaan masyarakat terhadap proses pemerintahan yang seharusnya inklusif dan adil.


"Peter Worobai menyatakan bahwa daripada mengalihkan fokus pada program transmigrasi, pemerintah seharusnya memberikan perhatian lebih besar kepada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) asli Papua. “Kami butuh guru dan dokter untuk anak-anak kami, bukan program transmigrasi yang justru mengancam eksistensi kami,” kata Worobai. Program pengiriman guru dan dokter ke daerah-daerah pelosok Papua akan memberikan dampak yang jauh lebih besar bagi pembangunan di wilayah ini."


Menurutnya, hal ini akan lebih sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat Papua. Dengan demikian, program yang benar-benar menyentuh kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan diyakini mampu membawa perubahan yang lebih bermakna bagi masyarakat di Papua, ketimbang kebijakan yang mengabaikan identitas dan hak-hak mendasar masyarakat lokal.


Dengan penolakan tegas ini, Peter Worobai berharap pemerintah pusat akan lebih memperhatikan suara rakyat Papua. Program transmigrasi yang dianggapnya berpotensi mengancam hak adat dan mengabaikan kebutuhan mendasar ini, harus dikaji ulang dan diarahkan pada hal-hal yang lebih memajukan masyarakat Papua, seperti pelayanan pendidikan dan kesehatan yang merata dan berkualitas.


(**)

×
Berita Terbaru Update