Artikel ini membahas pandangan yang sangat kritis tentang bagaimana Jakarta memandang orang Ras Melanesia di West Papua, dengan menyoroti isu rasisme, dehumanisasi, dan dominasi politik. Penulis, yang menggunakan nama "Putri West Papua," menekankan bahwa orang Melanesia di West Papua sering diperlakukan seolah-olah mereka bukan manusia, tetapi "persis dengan monyet." Pernyataan ini merujuk pada pengalaman panjang diskriminasi, stereotip rasial, dan ketidakadilan yang dialami oleh orang Papua di bawah pemerintahan Indonesia.
Papua Barat telah lama menjadi subjek konflik, baik politik maupun sosial, dengan akar masalah yang sangat dalam pada perbedaan rasial. Orang Papua, yang kebanyakan berasal dari ras Melanesia, sering kali menghadapi tindakan rasis yang merendahkan martabat mereka. Pernyataan bahwa Jakarta melihat mereka seperti "monyet" adalah cerminan nyata dari serangkaian peristiwa di mana orang Papua dihadapkan pada pelecehan rasial secara verbal dan fisik oleh masyarakat maupun otoritas Indonesia.
Beberapa insiden di masa lalu, seperti kasus rasisme di Surabaya pada 2019 yang memicu protes besar-besaran di Papua, menjadi bukti bahwa isu rasisme ini telah berlangsung lama dan berakar dalam. Orang Papua tidak hanya menghadapi ketidaksetaraan secara sosial, tetapi juga dalam aspek-aspek politik, pendidikan, dan ekonomi, yang memperkuat perasaan keterasingan mereka dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Penulis juga menyoroti kebijakan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) dengan menciptakan enam provinsi baru dan 62 kabupaten di Papua Barat sebagai bentuk "jerat" yang dipasang oleh negara Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini bukanlah upaya untuk memajukan kesejahteraan rakyat Papua, melainkan cara untuk memperkuat kontrol Jakarta atas tanah Papua.
Sistem DOB sering kali dikritik karena dianggap tidak melibatkan orang Papua dalam proses pembuatannya dan lebih banyak menguntungkan kepentingan politik Jakarta. Pemekaran wilayah ini, meski dijanjikan akan membawa pembangunan dan kesejahteraan, pada kenyataannya dianggap sebagai upaya untuk memecah belah kekuatan politik Papua dan melemahkan tuntutan mereka akan hak penentuan nasib sendiri.
Pesan utama dari penulis adalah ajakan bagi orang Papua untuk tidak "menggantung diri" dengan mengikuti sistem yang menurutnya menjerat mereka. Sebaliknya, mereka diajak untuk menggunakan ilmu yang didapat untuk merancang dan mendirikan negara West Papua yang merdeka. Ini merupakan seruan kuat untuk membebaskan diri dari dominasi dan ketidakadilan yang telah berlangsung lama. Ilmu pengetahuan dianggap sebagai senjata paling ampuh dalam perjuangan ini, bukan hanya sekadar protes, tetapi juga langkah konkret untuk membangun fondasi negara baru yang bebas dari penindasan.
"Putri West Papua" menutup artikelnya dengan harapan bahwa mereka yang membaca dan mendengar pesannya akan memahami esensinya dan bertindak berdasarkan itu. Pesannya adalah panggilan untuk kesadaran dan tindakan, agar orang Papua berbahagia dalam perlawanan dan perjuangan mereka untuk keadilan dan kemerdekaan.
Artikel ini mencerminkan suara kemarahan dan frustrasi yang telah lama dirasakan oleh banyak orang Papua terhadap perlakuan yang mereka terima di bawah pemerintahan Indonesia. Penulis berharap bahwa dengan kesadaran kolektif dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, mereka bisa mewujudkan impian mereka untuk merdeka dan hidup bermartabat sebagai manusia.
Penulis : Marten Dogomo